February 27, 2022

Review (bahasa): Home $weet Loan by Almira Bastari


Book and ARC reviews are posted under this feature!

Ganjil-Genap
*Paperback copy was pre-ordered through Tokopedia on January 25th. Available at bookstores on February 23th, 2022*

Genre: Metropop
Pub. Date: February 23th, 2022

Visit this review on my Goodreads page here!

Mengulang momen dengan Ganjil Genap. Tahun ini, buku Almira kembali menjadi buku pertama yang saya baca. Hopefully it will be the start of another book-reading for me!

Saya membuka laptop malam ini berniat untuk menulis review novel Home $weet Loan yang selesai dalam satu malam, tiga minggu yang lalu. Namun melihat cover metropop terbaru Almira Bastari ini kembali mengingatkan pada pe-er yang kerap terabaikan: catatan keuangan harian. Membuat saya berencana untuk menghabiskan weekend kali ini untuk kembali menyusun catatan keuangan pribadi dan meng-update beberapa item di dalamnya.
That’s how this book is affecting me.

Berbeda dari karya Almira sebelumnya yang jauh lebih ringan dan ber-tone ceria, Home $weet Loan menyuguhkan problematika real yang cukup serius berikut cerita perjuangan yang mampu membuat frustrasi pembacanya, or at least it felt that way for me.

Memulai cerita, saya spontan bertepuk tangan dengan kata-kata pembuka Almira sebelum halaman Prolog.
“Untuk yang berjuang memiliki tempat untuk pulang”
Singkat, jelas, dan mengena. Membuatku yakin, para pejuang KPR yang kebetulan membaca buku ini akan merasa sedikit panas di sudut mata membaca sebaris kalimat tersebut. Well, saya yang tidak relate dengan kondisi tersebut bahkan merasa hangat di hati. But for another reason that I would spill later in a bit.

Prolog langsung membawa kita ke titik permasalahan yang menjadi fokus pada cerita kali ini: proses mencari rumah tinggal yang ideal. Ideal dari segi lokasi, lingkungan, historis, dan tentu saja finansial. Ibarat mencari jodoh, sekompleks itu juga proses mencari rumah. Tidak bisa tergesa-gesa, perlu penjajakan. Tidak cukup hanya datang satu kali, namun harus berkali-kali untuk mendapat sudut pandang yang berbeda yang nantinya akan membentuk opini final seseorang. Almira menuangkan seluruh alur proses tersebut dengan detail yang mengagumkan. Secara tidak langsung, kita diberikan tips dan trik dalam mencari tempat tinggal yang ideal dalam kemasan yang menarik. Bahwa ada banyak sekali faktor yang harus dipertimbangkan. Dan memiliki checklist atas faktor-faktor tersebut adalah hal yang wajib, meski pada akhirnya kita diberitahu bahwa walaupun nantinya tidak seluruh boks pada checklist itu terisi, bukan berarti itu merupakan pilihan yang buruk. Seperti yang dihadapi tokoh Kaluna, Tanish, Miya, bahkan Danan, yang seperti beberapa orang ternyata tempat untuk pulangnya bukan hanya rumah. Seperti halnya dalam mencari pasangan hidup. Bukan hanya soal sosok mana yang akan memenuhi seluruh isi checklist kita, namun meski sosok tersebut nantinya memiliki beberapa unchecked boxes tidak berarti sosok tersebut merupakan pilihan yang buruk bagi kita. Itulah mengapa sebaris kalimat pembuka tadi turut menghangatkan perasaan pembaca, terlepas dari status pejuang KPR atau bukan seperti saya. Karena pada akhirnya, tempat untuk pulang tidak selalu merupakan rumah. Karena bisa saja, tempat untuk pulang itu adalah sosok yang dapat memberikan rasa nyaman untuk bersandar setelah lelah berjuang.
"Kadang kita menemukan rumah lebih dulu, kemudian sepi. Kadang kita menemukan orang yang seperti 'rumah'."
Satu hal yang selalu saya sukai dari karakterisasi yang Almira lakukan di buku-bukunya (correct, I’ve read all four of them, even repeatedly for some) adalah bagaimana ia selalu membawa sekelompok karakter yang di-develop sedemikian rupa sehingga pada beberapa kesempatan tiap-tiap karakter tersebut bahkan dapat menjadi pemeran utama cerita, tergantung dari sisi cerita sebelah mana pembaca memandangnya. Begitupun di Home $weet Loan. Kaluna yang memiliki porsi cerita paling banyak tidak serta merta menjadikannya pusat perhatian. Karena saya menemukan titik-titik di mana penggambaran karakter Kaluna agak sulit diterima sebab pada beberapa kesempatan sosok dirinya terkesan lemah. Kelugasan Tanish, misalnya, menjadi daya tarik tersendiri menurut saya. Begitu juga Miya, yang awalnya terkesan reckless namun ternyata sosoknya memiliki niat dan kegigihan yang cukup kuat dalam menjalankan komitmen yang telah ia ambil.

Namun sosok Kaluna, dengan segala kelemahannya, mampu membuat pembaca untuk berkaca pada diri sendiri. Seperti yang saya sampaikan di awal perihal pe-er besar yang tertunda. Kaluna membuat kita bertanya pada diri sendiri: sudahkah saya melek finansial? Seperti tergambar pada tokoh Danan, sayapun seperti ‘ditampar’ dengan fakta bahwa mirisnya kebanyakan generasi muda sekarang tidak banyak yang punya perencanaan keuangan yang baik. Kebanyakan tidak tahu pentingnya, sebagian tidak ambil pusing, sebagian bertahan hidup from paycheck to paycheck, sebagian lainnya merupakan bagian dari sandwich generation. Almira menggambarkan realita di Indonesia tersebut dengan gamblang, membuat kita dapat melihat sosok-sosok Kaluna (si melek finansial namun kerap berada di pusaran masalah keuangan baik di keluarga maupun percintaannya), Tanish (si ibu muda yang harus berjibaku tidak hanya dalam masalah keuangan, namun problematika berumah tangga hingga mertua), Miya (si financial-disaster dengan mimpi, kepercayaan diri, dan kegigihan yang sama tingginya), dan Danan (si berkecukupan yang buta finansial) pada orang-orang di sekeliling kita.

Hanya saja, berbeda dengan penggambaran hubungan antar karakter yang biasanya Almira lakukan
pada buku-buku sebelumnya di mana rasa persahabatan biasa digambarkan dengan sangat hangat, rasa persahabatan antara tokoh Home $weet Loan terasa tidak begitu muncul ke permukaan. Namun ini tidak lantas menjadi suatu kekurangan, karena, let’s be honest here, tidak semua persahabatan akan selalu memiliki ikatan yang erat. Apalagi persahabatan di antara mereka di usia 30-an, dengan segala permasalahan hidup masing-masing, di mana di antara mereka ada yang telah berkeluarga, belum lagi mereka yang masih melajang yang masalahnya sering dianggap tidak sebesar mereka yang telah berkeluarga (You did portray this issue perfectly, Al!) meski nyatanya tidak.

Di samping topik utama di atas, Almira tidak lupa menyelipkan romansa pada Home $weet Loan yang dikemas dengan sederhana, tidak terburu-buru namun ditutup dengan teramat manis. Closing romansa di buku ini disajikan dengan amat realistis serta mampu menepis pernyataan bahwa menikah akan menyelesaikan segala permasalahan ketika masih single, namun paling tidak beban permasalahan tersebut dapat dibagi dengan dua pundak lainnyaBahkan isu problema hubungan di ambang pernikahan turut dirangkum oleh Almira dengan lugas. Bagaimana pernikahan tidak hanya menyatukan dua insan yang jatuh cinta, namun dua keluarga besar yang akan mengiringinya. She pictured it pretty good there.

Akhirnya, dengan segala kepelikannya, Home $weet Loan mampu memberikan lebih dari sekedar bacaan kasual di akhir minggu. Almira menyinggung banyak sekali permasalahan real di dunia nyata pada buku ini mulai dari sulitnya generasi muda memiliki rumah hingga pentingnya memilih pasangan hidup yang paham dan punya solusi atas kesulitan tersebut.

Really an eye-opener!