February 10, 2011

Personal Writing: Search Result: Kematian

Di luar, hujan-angin-dan petir sedang berkolaborasi.
Di dalam, selimut-kaus kaki-dan suara David Cook sedang berkonspirasi membuatku hangat.
Cukup hangat, tapi aku masih tak bisa tidur. Banyak yang aku pikirkan akhir-akhir ini. Dan 12 menit yang lalu, search engine di otakku menampilkan kata "kematian". Jangan terlalu berspekulasi. Aku tak sedang berpikir tentang bunuh diri lantaran terlalu banyak pikiran. Tak akan pernah. Hanya saja, banyak kematian yang terjadi di sekitarku. Terjadi pada orang-orang yang terdugapun tidak bahwa mereka punya potensi untuk itu saat ini. Dan itu, cukup mengejutkanku. Kematian memang sebuah rahasia besar bagi tiap makhluk bernyawa. Tapi ingat, bahkan kau bukan pemegang rahasia kematianmu sendiri.
Tapi, Tuhan.

Yang kita tahu hanyalah, cepat atau lambat, itu akan datang. Dan semua manusia pasti menemui ajalnya. Terlepas dari kesan mengasyikkan soal kematian di saga Twilight, banyak orang mengidentikkan kematian dengan sesuatu yang menakutkan, mengerikan, dan mencekam. Padahal, kematian tak selamanya tentang meregangnya jiwa dari tubuh seseorang. Tak selamanya tentang batu nisan, wangi kamboja, dan tangisan orang-orang tercinta. Lihat dari segi positifnya. Kematian akan menghentikan malaikat di sisi kirimu mencatat. Menyenangkan, bukan? Itu juga membuatmu menikmati tidur panjang di saat orang lain sibuk bernafas. Tentu saja dengan tetap memperhatikan poin-poin tingkah lakumu selama di dunia. Heh, kematian. Kau inginkan kematian yang menyenangkan? Bahkan membicarakan kematianmu dengan santai di bukit senja. Seolah kau yakin pada Cullen yang menawarkan kematian menyenangkan. Bermimpi saja. Itu fiksi. Stephenie Meyer juga punya agama. Dan kau bukan Bella yang bisa merencanakan kematianmu dengan vampir itu. Lagipula aku yakin, tak banyak yang mati dengan dua lubang bekas gigitan di leher. Itu terlalu dramatis.

Oh, hujan hampir berhenti, angin dan petir sudah lama pergi.
Sedangkan kaus kaki bersembunyi di bawah bantal, selimut turun ke lantai, meninggalkan suara David Cook yang masih bernyanyi di telingaku.
Duabelas menit menuju tengah malam. Kurasa tidur adalah pikiran terbaik saat ini. Melupakan dunia nyataku untuk beberapa jam saja.

Personal Writing: Confession #2

Sore ini belum gelap. 
Tapi aku sudah menghidupkan bola cahaya di kamarku. Bukan bermaksud pemborosan, aku hanya ingin diselimuti terang. Akhir-akhir ini begitu banyak hal yang memaksaku berkata, “aku sendirian”. Kedengarannya cukup menyedihkan, karena pada kenyataannya aku dikelilingi banyak orang. Tapi kata “sendirian” benar-benar tergambar jelas di benda bersegmen yang ada di dalam kepalaku. 

Aku sendirian tanpa dia. 
Aku sendirian tanpa dia. 
Aku sendirian tanpa dia. 
Bahkan aku bisa mengucapkannya 997 kali lagi hanya untuk membuatku semakin tampak menyedihkan. Tapi aku rasa tiga kali saja sudah cukup. Tak perlu menjadi begitu menyedihkan di dunia yang akan segera kiamat ini. Sebenarnya ini bukan soal dia. Ini soal aku. Dan kehidupanku yang sepi tanpa dia. 

Bukan bermaksud melebih-lebihkan, tapi aku benar bisa merasakan apa yang dirasakan Bella saat Edward dan keluarga Cullens lainnya terpaksa meninggalkan Forks. Duduk terdiam memandang ke luar jendela selama berbulan-bulan hanya untuk berharap Edward tiba-tiba muncul di jendela kayunya. Tapi Bella masih lebih beruntung karena ada yang dia tunggu dan ada yang ia yakini akan kembali padanya. Sedangkan aku, aku bahkan tak yakin dengan yang aku tahu tak akan pernah datang. Yang aku tahu hanyalah aku sedang menunggu. Entah akan berapa lama tapi kurasa akan benar-benar membosankan. Aku sadar betapa bodohnya aku. Padahal aku sudah menanamkan sebaris lirik lagu Maroon 5 dalam-dalam di otakku. Aku sekarang bahkan masih bisa mendengarkan Adam Levine dan Rihanna bersahut-sahutan mengatakan “If I never see your face again, I don’t mind”. Tapi yang terjadi?
Aku sangat ingin menurut dengan apa yang Hilary Duff katakan tentang percaya pada diri sendiri.
It doesn’t matter what people sayAnd it doesn’t matter how long it takesBelieve in yourselfAnd you’ll fly highAnd it only matters how true you areBe true to yourself and follow your heart
Ya Tuhan, aku sangat ingin percaya pada diriku sendiri. Percaya bahwa aku ga perlu menunggu dia atau entah apapun itu untuk melanjutkan hidupku yang sangat indah ini. Tapi aku ga ingin menjadi sepolos Duff yang bahkan masih yakin bahwa ia menjadi kuat di saat yang lainnya lemah karena percaya dalam kegelapan sekalipun tetap ada seseorang yang memperhatikan dia. Menyedihkan. Aku ga ingin dan ga akan menjadi sepolos itu. Ya, ga akan pernah.

Perlu waktu untuk memahami semua kerumitan ini. Tiba-tiba suara Kyle Patrick bernyanyi di telingaku. Mengingatkanku akan semua kesendirian, kesunyian, dan kekosongan ini. It’s empty. Ya, benar sekali.

I’m empty just because thinking of one silly thing called you. Why’d you steal my heart and run away when I think I love this part? You’re just like the baddest thing ever that I don’t know how could be so contagious. Where’d I go wrong until you’re being as cruel as Hitler to me? You know, today December 19th , I have no feeling bout you. Guess it’s just a stupid part of my life, met you and fell in love..

Aku benar-benar bahagia mengatakan semua ini. Persis seperti yang dirasakan Iris saat akhirnya bisa mengatakan ia tak lagi mencintai Jasper. Apapun yang terjadi nantinya, yang aku tahu aku ga akan pernah menunggu lagi..

Personal Writing: Confession #1

Kenapa di saat aku jatuh dan ga tahu lagi harus bicara dengan siapa, dia hampir selalu datang di mimpiku? 
Aku selalu bilang rasa itu udah ga ada, udah berakhir berjuta menit yang lalu. Tapi kenapa dia tetap ada di pikiranku. Bahkan aku masih bisa melihat lekuk wajahnya, tersenyum menatapku dan disinari oleh satu lampu panggung. Like single spotlight on my stage. Di mimpi itu dia ga ngelakuin apa-apa. Bahkan dia ga bicara apapun. Sekedar say-hi atau apalagi sekedar bilang,"there’s nothing to fear for my shadow’s right beside you”. Ga. Dia ga bilang itu semua. Tapi hanya dengan melihatnya muncul di depanku dengan senyumnya yang masih sama udah cukup membuat aku sadar dan berkata,”aku harus bangkit”. Sehebat inikah kekuatan cintaku untuk dia? Membuatku terus bertahan bahkan tanpa ia mengetahuinya bahwa diam-diam aku menggunakan bayangnya untuk semangatku. Jujur aja aku ga mau terus terperangkap dalam perasaan seperti ini. Aku ga pernah menyimpan dia di memori otakku. Paling ga itu yang aku lakuin 2 tahun terakhir ini. Tapi entah kenapa ia selalu ada di sudut itu dan seperti memaksaku mengingatnya. Oh God..

Aku ga akan bilang dunia atau hidup ini kejam. Karena emang yang kejam adalah orang-orang di dalamnya. Termasuk aku. Juga dia. Dia. Apalagi yang bisa aku katakan tentang dia? Aku rasa aku udah ga mau lagi memuji dia, tapi aku juga ga sanggup mengabaikan dia. It feels like so impossible to ignore you. Okay, kalau dia memang akan terus ada dalam mimpiku, aku cuma mau bilang thanks. Terimakasih untuk menjadi semangatku. Membuatku tersenyum hanya dengan melihat bayangmu. Kamu emang ga tau tentang semua kekonyolan ini. Tapi percayalah, kalau waktu dan kesempatan itu Tuhan berikan untukku, aku akan mengatakannya padamu. Bahwa dengan bayangmulah aku diam-diam membangun sisa-sisa kekuatanku. Bangkit dari keterpurukanku dengan melihatmu dan percaya Tuhan bersamaku. Dunia ga akan berakhir sebelum tombol stop ditekan, bukan?

February 1, 2011

Personal Writing: Kelabu

Hujan (lagi). Pagi ini rasanya kelabu. Aku seperti terkena "early morning blue".
Kelabu, sendu, perasaan sedih tiba-tiba tanpa sebab yang jelas. Rasanya seperti kehilangan sesuatu, atau seseorang. Seperti yang dirasakan Bella saat tak mendapati Edward duduk bersama saudara-saudaranya di kafetaria sekolah. Mendung tiba-tiba, merasa kalah dan hanya ingin mengasihani diri sendiri bersama sekaleng soda.

Seperti yang dirasakan Louis saat melihat Lyla dipaksa masuk ke dalam mobil dan meninggalkannya di lengkungan itu. Membuat musik-musik disekitarnya seakan menghilang dan semua yang ia dengar hanyalah tetes air hujan di hatinya. Seperti yang dirasakan Hermione saat meninggalkan Ron merayakan kemenangan pertandingan Quidditch bersama Lavender Brown di ruang utama Gryffindor. Menangis, sangat terluka, sampai membuatnya mengucapkan mantera Opugno untuk menyerang Ron.

Bukan vampir yang luar biasa tampan dengan mata topaz dan berkulit porselen yang aku cintai. Bukan pula musisi jenius yang hidup dengan mendengarkan musik dan bicara pada bulan setiap malam. Dan aku juga tidak mencintai kipper Quidditch yang handal, penyihir berambut merah yang payah. Yang aku cintai lebih dari semua itu. Ia seperti bisa berubah menjadi apa saja di dalam pikiranku, seperti apa yang kuinginkan. Ia berubah menjadi saputangan di saat butir air mata itu menghampiri pipiku. Ia berubah menjadi selimut hangat yang tebal di saat aku menggigil di malam hari. Ia berubah menjadi cermin di hadapanku saat aku kehilangan rasa percaya diri dan tak ingat siapa diriku. Dan ia berubah menjadi peta bersuara di saat aku tersesat dan hilang. Tapi entah mengapa ia tak berubah menjadi apapun saat ini. Membiarkan aku tetap kelabu dan kehilangan dirinya. Membiarkan air mataku berderai-derai. Membiarkan aku menggigil kedinginan. Membiarkan aku lupa segalanya. Membiarkan aku.. hilang.

Hujan (lagi). Pagi ini tetap kelabu. Aku kembali terkena early morning blue.
Mungkin dia hanya sedang lelah. Dia perlu beristirahat dan menjadi dirinya sendiri. Baiklah, aku akan menunggunya di sini. Di sudut ruangan menatap ke jendela yang berembun dan dingin. Siapa tau ia datang dan diam-diam menjadi matahari di jendelaku yang hangat.