January 27, 2011

Personal Writing: Romanticize Stupidity

Bedroom
2011, 9th January; 1:46 pm

Aku teringat beberapa waktu yang lalu, teramat lalu, aku seperti kehilangan logika berpikirku. Aku begitu menginginkannya, cowok ber-sweeter coklat itu. Begitu menginginkannya sampai aku menangis bila hari itu tak berjumpa dengannya. Sampai rasanya air mataku meleleh-leleh tak karuan setiap kali mendapati bangkunya kosong di kelas. Seperti pecandu menginginkan heroinnya, seperti itulah aku menginginkannya. Aku tahu itu konyol tapi bila itu semua berada dalam satu kotak berlabel ‘cinta’, apalagi yang bisa dikatakan. Rasanya seperti saat kau ingin menulis sesuatu tapi tak dapat menemukan penamu di mana-mana. Kebingungan sesaat namun perlahan kau akan memahami, bagaimanapun juga kau butuh pena untuk menulis. Bagaimanapun juga sedikit banyak cinta pasti pernah membutakanmu. Meski kau tak sampai membocorkan ban sepedanya agar kau bisa pulang dengan berjalan kaki bersamanya. Atau berusaha keras menjadi murid terpintar di kelas agar ia mendatangimu setiap kali ia kesulitan dengan materi pelajaran. Tapi aku yakin kau pernah melakukan hal-hal konyol semacam itu hanya untuk membuatnya berada di dekatmu sedikit lebih lama, membuat dirimu sedikit lebih terang dibanding orang lain agar ia melihat cahayamu, membuat para fisikawan mengakui bahwa matahari bukan satu-satunya titik konsentris yang ada di tatasurya ini, bahwa kau memiliki titik konsentrismu sendiri.

Satu dua hal, mungkin kau melihatnya mendengarkan lagu Coldplay dan diam-diam mem-browsingnya di internet serta mendownload beberapa lagu di antaranya agar keesokan harinya kau bisa menyapanya dengan lagi In My Place, seolah kalian punya selera musik yang sama padahal kau amat membenci rambut ikal sang vokalis. Semua itu konyol, memang. Sangat konyol, bahkan. Tapi ketahuilah, ada banyak hal di dunia ini yang terjadi tanpa terduga. Saat kau menginginkannya begitu parah, kau tak pernah berpikir bahwa ia jauh lebih menginginkanmu dari siapapun di dunia ini. Kau tak pernah tahu bahwa sebelum kau membocorkan ban sepedanya, ia sudah terlebih dahulu membuat remnya tak berfungsi agar ia bisa menahanmu di tempat parkir beberapa saat untuk memperbaikinya. Menikmati setiap detik bersamamu yang begitu ia paksakan untuk terjadi adalah hal terindah yang pernah ia miliki dan kau tak pernah tahu itu. Kau bahkan tak pernah menyadari bagaimana usahanya agar kau dan dia selalu berada di kelompok yang sama dalam setiap pelajaran. Kau tengah mensyukuri keberuntunganmu itu pada Tuhan saat ia sedang berlega hati karena tak ada orang yang mengetahui ia menyelipkan namamu begitu saja di daftar anggota kelompok. Itu semua terjadi dan kau harus berhenti mengatai dirimu sendiri seorang pretender. Karena nyatanya kau bukan satu-satunya di dunia ini, karena kenyataannya dia sama konyolnya dengan dirimu.

Dan kau tahu, aku juga tak pernah menduga ia sama konyolnya denganku. Dulu aku pernah membenci sebuah lagu, teramat benci dan aku rasa semua orang tahu itu, kecuali dia. Waktu itu aku tengah duduk dengan pena dan kertas di tanganku memikirkan tugas Geografi saat sebuah suara yang begitu lembut membisikkan lagu sialan itu. Aku begitu ingin marah dan saat menoleh, ia dengan senyum lebarnya terus menyanyi dengan gitar di tangannya. Dan hari-hari itu berlanjut sampai saat perpisahan itu tiba, aku dengan bodohnya baru menyadari bahwa ia berusaha mencuri perhatianku dengan lagu itu, membuatnya sedikit lebih terang agar aku bisa melihat cahayanya, membuatku berada sedikit lebih lama di dekatnya meski untuk meneriakinya. Terakhir aku sadari, ia ingin berbeda. 
Fin.