January 31, 2011

Personal Writing: Earthquake Remaining

30 September 2009,

Gempa Pariaman 7,6 SR..
Ga tau kenapa rasanya ada sebagian dari diriku yang ikut hilang saat gempa itu terjadi. Rasanya sunyi, hening dan begitu dingin. Aku seolah lupa cara bicara. Hanya menatap layar televisi di depanku dalam diam. Seorang ibu menggendong anaknya yang masih bayi dengan 2 putri 6-tahunnya menangis di tepi jalan tepat di depan bangunan yang luluh lantak. Sang ibu menangkat wajahnya beberapa derajat ke atas. Berusaha keras menahan airmatanya yang sudah membendung di pelupuk mata memaksa untuk keluar. Garis wajahnya terbaca jelas bahwa ia enggan membuat anak-anaknya semakin larut dalam kesedihan. Mengorbankan perasaannya sendiri tersiksa, membiarkan hatinya saja yang menangis, berpikir bahwa cukup dia dan Tuhan yang tahu ia menangis. Mereka berlari dan aku kembali merasa sebagian dari diriku ikut berlari dengan mereka. Tanpa bicara, menuju ke arah yang sama, dengan pikiran masing-masing membayangkan kata "selamat". Aku menutup wajah merasa kesepian tiba-tiba. Persis dengan yang aku rasakan 5 tahun lalu. Tsunami Aceh telah membawa pergi separuh temanku. Aku ga tau ke mana. Yang aku tau aku ga pernah bisa bertemu mereka lagi. Ga di dunia ini. Saat itu aku benci melihat tayangan detik-detik kejadian tsunami. Aku benci melihat bagaimana ombak itu menggulung mereka, benci melihat air itu menyapu tanah rencong. Jujur, sebelumnya aku ga pernah merasa punya ikatan batin yang kuat dengan Aceh (meski Aceh adalah tanah kelahiran papa). Aku ngerasa ga ada yang salah dengan kepergianku dari Aceh. Bahkan meninggalkan salah satu dari mereka dengan rasa marah ga beralasan. Tapi kejadian itu mengubahku. Saat mendengar peristiwa 26 Desember itu, yang pertama kali muncul di pikiranku adalah flashback masa kecilku. Di mana aku mengenyam bangku sekolah dasar pertama, bertemu teman-teman baru yang amat berbeda, bermain bola kasti dengan mereka, dan mengucapkan janji "sahabat sejati ga akan pergi". Aku rindu semua itu. Aku rindu mereka. Sangat. Tapi sekarang.. Mereka udah pergi menyisakan memori indah itu dan bekas air mata di pipiku yang ga akan berguna untuk apapun.

Gempa Pariaman. Aku berdoa pada Tuhan agar peristiwa ini ga memunculkan "aku"-"aku" yang lain. Orang bodoh yang baru menyadari bahwa ia punya sahabat setelah kehilangan mereka, baru sepenuhnya memahami arti kalimat bijak "kita baru merasa memiliki sesuatu setelah kehilangan sesuatu tersebut" . Orang bodoh yang pergi dengan rasa marah dan ga memberi mereka kata "maaf" hanya untuk satu hal konyol. Orang bodoh yang meninggalkan mereka tanpa pesan dan kini tengah menangis menyesali perbuatan angkuhnya dalam kesia-siaan.

Maaf.. Aku tau ini ga mengubah apapun. Tapi, semua yang bisa aku ucapkan sekarang hanyalah maaf. Kata yang ga aku berikan 5 tahun lalu di halaman sekolah pada gadis kecil dengan tangan terulur padaku. Ya Tuhan, aku selalu berharap kesempatan itu masih ada. Aku berharap peristiwa itu hanya sekedar mimpi, ga nyata. 5 tahun berlalu dan aku masih berharap saat bangun pagi aku akan mendapati diriku berada di kamar tidurku di Aceh, dengan seragam merah putih tergantung di dalam lemari, dan teriakan "ayo, berangkat" sahabat-sahabatku dari bawah. Menyenangkan -untuk saat itu- .. dan menyedihkan - untuk saat ini-.

Mereka masih berlari dengan kata "hidup" bertumpu di pundak masing-masing. Aku menghirup oksigen dua kali lebih banyak. Ya Tuhan, selamatkan mereka.

2 comments: